TUGAS INDIVIDU
ETIKA DAN NILAI
LINGKUNGAN
KONSEPSI : BISNIS BERBASIS ETIKA LINGKUNGAN
Oleh
DESY RUKIYATI
NPM.12.131011031
Email: desyrukiyati@yahoo.co.id
Dosen
Prof.Supli Effendi Rahim
PROGRAM PASCA SARJANA KESEHATAN
MASYARAKAT
STIK BINA HUSADA PALEMBANG
TAHUN 2013
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Krisis lingkungan
hidup yang dihadapi manusia modern merupakan akibat langsung dari pengelolaan
lingkungan hidup yang “nir-etik”. Artinya, manusia melakukan pengelolaan
sumber-sumber alam hampir tanpa peduli pada peran etika. Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa krisis ekologis yang dihadapi umat manusia berakar dalam krisis
etika atau krisis moral. Umat manusia kurang peduli pada norma-norma kehidupan
atau mengganti norma-norma yang seharusnya dengan norma-norma ciptaan dan
kepentingannya sendiri. Manusia modern menghadapi alam hampir tanpa menggunakan
‘hati nurani. Alam begitu saja dieksploitasi dan dicemari tanpa merasa
bersalah. Akibatnya terjadi penurunan secara drastis kualitas sumber daya alam
seperti lenyapnya sebagian spesies dari muka bumi, yang diikuti pula penurunan
kualitas alam. Pencemaran dan kerusakan alam pun akhirnya mencuat sebagai
masalah yang mempengaruhi kehidupan sehari-hari manusia.
Perbincangan
tentang "etika bisnis" di sebagian besar paradigma pemikiran
pebisnis terasa kontradiksi interminis (bertentangan dalam dirinya sendiri)
atau oxymoron ; mana mungkin ada bisnis yang bersih, bukankah setiap orang yang
berani memasuki wilayah bisnis berarti ia harus berani (paling tidak)
"bertangan kotor".
Apalagi
ada satu pandangan bahwa masalah etika bisnis seringkali muncul berkaitan
dengan hidup matinya bisnis tertentu, yang apabila "beretika" maka
bisnisnya terancam pailit. Disebagian masyarakat yang nir normative dan
hedonistik materialistk, pandangan ini tampkanya bukan merupakan rahasia lagi
karena dalam banyak hal ada konotasi yang melekat bahwa dunia bisnis dengan
berbagai lingkupnya dipenuhi dengan praktik-praktik yang tidak
sejalan dengan etika itu sendiri. Begitu kuatnya
oxymoron itu, muncul istilah business ethics atau ethics in business. Sekitar
dasawarsa 1960-an, istilah itu di Amerika Serikat menjadi bahan controversial.
Orang boleh saja berbeda pendapat mengenai kondisi moral lingkungan bisnis
tertentu dari waktu ke waktu. Tetapi agaknya kontroversi ini bukanya berkembang
ke arah yang produktif, tapi malah semakin menjurus ke suasana debat kusir.
Wacana
tentang nilai-nilai moral (keagamaan) tertentu ikut berperan dalam
kehidupan sosial ekonomi masyarakat tertentu, telah banyak digulirkan dalam
masyarakat ekonomi sejak memasauki abad modern, sebut saja Misalnya, Max
weber dalam karyanya yang terkenal, The Religion Ethic and the Spirit
Capitaism, meneliti tentang bagaimana nilai-nilai protestan telah menjadi
kekuatan pendorong bagi tumbuhnya kapitalisme di dunia Eropa barat dan kemudian
Amerika. Walaupun di kawasan Asia (terutama Cina) justru terjadi
sebaliknya sebagaimana yang ditulis Weber. Dalam karyanya The Religion Of
China: Confucianism and Taoism, Weber mengatakan bahwa etika konfusius adalah
salah satu faktor yang menghambat tumbuhnya kapitalisme nasional yang tumbuh di
China. Atau yang lebih menarik barangkali adalah Studi Wang Gung Wu, dalam
bukunya China and The Chinese Overseas, yang merupakan revisi terbaik bagi
tesisnya weber yang terakhir.
Di
sisi lain dalam tingkatan praktis tertentu, studi empiris tentang etika usaha
(bisnis) itu akan banyak membawa manfaat: yang bisa dijadikan faktor pendorong
bagi tumbuhnya ekonomi, taruhlah dalam hal ini di masyarakat Islam. Tetapi
studi empiris ini bukannya sama sekali tak bermasalah, terkadang, karena etika
dalam ilmu ini mengambil posisi netral (bertolak dalam pijakan metodologi
positivistis), maka temuan hasil setudi netral itu sepertinya kebal terhadap
penilaian-penilaian etis.
B.
Tujuan
Untuk mengetahui konsepi hubungan manusia
dengan mansuia, lingkungannya serta manusai dengan Tuhan (Hablum minallah dan
hablum minannas). Dengan kata lain bisnis dalam Islam tidak semata mata
merupakan manifestasi hubungan sesama manusia yang bersifat pragmatis, akan
tetapi lebih jauh adalah manifestasi dari ibadah secara total kepada sang
Pencipta.
C.
Rumusan
Masalah
Bagaimana dan adakah konsep Islam
menawarkan etika bisnis bagi pendorong bangkitnya roda ekonomi
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.
Pengertian
Etika adalah suatu cabang dari filosofi yang
berkaitan dengan ”kebaikan (rightness)” atau moralitas (kesusilaan) dari perilaku manusia. Dalam pengertian ini etika diartikan
sebagai aturan-aturan yang tidak dapat dilanggar dari perilaku yang diterima
masyarakat sebagai baik atau buruk. Sedangkan Penentuan baik dan buruk adalah
suatu masalah selalu berubah. Etika bisnis adalah standar-standar nilai yang
menjadi pedoman atau acuan manajer dan segenap karyawan dalam pengambilan
keputusan dan mengoperasikan bisnis yang etik. Paradigma etika dan bisnis
adalah dunia yang berbeda sudah saatnya dirubah menjadi paradigma etika terkait
dengan bisnis atau mensinergikan antara etika dengan laba. Justru di era
kompetisi yang ketat ini, reputasi perusahaan yang baik yang dilandasi oleh
etika bisnis merupakan sebuah competitive advantage yang sulit ditiru. Oleh
karena itu, perilaku etik penting diperlukan untuk mencapai sukses jangka
panjang dalam sebuah bisnis.
B.
Permasalahan Etika dalam Bisnis
Beberapa hari terakhir ada dua berita yang mempertanyakan apakah etika
dan bisnis berasal dari dua dunia berlainan. Pertama, melubernya lumpur dan gas
panas di Kabupaten Sidoarjo yang disebabkan eksploitasi gas PT Lapindo Brantas.
Kedua, obat antinyamuk HIT yang diketahui memakai bahan pestisida berbahaya
yang dilarang penggunaannya sejak tahun 2004. Dalam kasus Lapindo, bencana
memaksa penduduk harus ke rumah sakit. Perusahaan pun terkesan lebih
mengutamakan penyelamatan aset-asetnya daripada mengatasi soal lingkungan dan
sosial yang ditimbulkan.Pada kasus HIT, meski perusahaan pembuat sudah meminta
maaf dan berjanji akan menarik produknya, ada kesan permintaan maaf itu klise.
Penarikan produk yang kandungannya bisa menyebabkan kanker itu terkesan tidak sungguh-sungguh
dilakukan. Produk berbahaya itu masih beredar di pasaran. Atas kasus-kasus itu,
kedua perusahaan terkesan melarikan diri dari tanggung jawab. Sebelumnya, kita
semua dikejutkan dengan pemakaian formalin pada pembuatan tahu dan pengawetan
ikan laut serta pembuatan terasi dengan bahan yang sudah berbelatung.
Dari
kasus-kasus yang disebutkan sebelumnya, bagaimana perusahaan bersedia melakukan
apa saja demi laba. Wajar bila ada kesimpulan, dalam bisnis, satu-satunya etika
yang diperlukan hanya sikap baik dan sopan kepada pemegang saham. Harus diakui,
kepentingan utama bisnis adalah menghasilkan keuntungan maksimal bagi
shareholders. Fokus itu membuat perusahaan yang berpikiran pendek dengan segala
cara berupaya melakukan hal-hal yang bisa meningkatkan keuntungan. Kompetisi
semakin ketat dan konsumen yang kian rewel sering menjadi faktor pemicu
perusahaan mengabaikan etika dalam berbisnis. Namun, belakangan beberapa
akademisi dan praktisi bisnis melihat adanya hubungan sinergis antara etika dan
laba. Menurut mereka, justru di era kompetisi yang ketat ini, reputasi baik
merupakan sebuah competitive advantage yang sulit ditiru.
Salah satu kasus yang sering dijadikan acuan adalah
bagaimana Johnson & Johnson (J&J) menangani kasus keracunan Tylenol
tahun 1982. Pada kasus itu, tujuh orang dinyatakan mati secara misterius
setelah mengonsumsi Tylenol di Chicago. Setelah diselidiki, ternyata Tylenol
itu mengandung racun sianida. Meski penyelidikan masih dilakukan guna
mengetahui pihak yang bertanggung jawab, J&J segera menarik 31 juta botol
Tylenol di pasaran dan mengumumkan agar konsumen berhenti mengonsumsi produk
itu hingga pengumuman lebih lanjut. J&J bekerja sama dengan polisi, FBI,
dan FDA (BPOMnya Amerika Serikat) menyelidiki kasus itu. Hasilnya membuktikan,
keracunan itu disebabkan oleh pihak lain yang memasukkan sianida ke botol-botol
Tylenol. Biaya yang dikeluarkan J&J dalam kasus itu lebih dari 100 juta
dollar AS. Namun, karena kesigapan dan tanggung jawab yang mereka tunjukkan,
perusahaan itu berhasil membangun reputasi bagus yang masih dipercaya hingga
kini. Begitu kasus itu diselesaikan, Tylenol dilempar kembali ke pasaran dengan
penutup lebih aman dan produk itu segera kembali menjadi pemimpin pasar (market
leader) di Amerika Serikat. Secara jangka panjang filosofi
J&J yang meletakkan keselamatan konsumen di atas kepentingan perusahaan
berbuah keuntungan lebih besar kepada perusahaan. Doug Lennick dan Fred Kiel,
2005 (dalam Itpin, 2006) penulis buku Moral Intelligence, berargumen bahwa
perusahaan-perusahaan yang memiliki pemimpin yang menerapkan standar etika dan
moral yang tinggi terbukti lebih sukses dalam jangka panjang. Hal sama juga
dikemukakan miliuner Jon M Huntsman, 2005 (dalam Itpin, 2006) dalam buku
Winners Never Cheat. Dikatakan, kunci utama kesuksesan adalah reputasinya
sebagai pengusaha yang memegang teguh integritas dan kepercayaan pihak lain.
Berkaca pada beberapa contoh kasus itu, sudah saatnya kita merenungkan kembali
cara pandang lama yang melihat etika dan bisnis sebagai dua hal berbeda. Memang
beretika dalam bisnis tidak akan memberi keuntungan segera. Karena itu, para
pengusaha dan praktisi bisnis harus belajar untuk berpikir jangka panjang.
Peran masyarakat, terutama melalui pemerintah, badan-badan pengawasan, LSM,
media, dan konsumen yang kritis amat dibutuhkan untuk membantu meningkatkan
etika bisnis berbagai perusahaan di Indonesia.
Praktik Bisnis Masih Abaikan Etika Rukmana
(2004) menilai praktik bisnis yang dijalankan selama ini masih cenderung
mengabaikan etika, rasa keadilan dan kerapkali diwarnai praktik-praktik bisnis
tidak terpuji atau moral hazard. Korupsi, kolusi, dan nepotisme yang semakin
meluas di masyarakat yang sebelumnya hanya di tingkat pusat dan sekarang meluas
sampai ke daerah-daerah, dan meminjam istilah guru bangsa yakni Gus Dur,
korupsi yang sebelumnya di bawah meja, sekarang sampai ke meja-mejanya
dikorupsi adalah bentuk moral hazard di kalangan ekit politik dan elit
birokrasi. Hal ini mengindikasikan bahwa di sebagian masyarakat kita telah
terjadi krisis moral dengan menghalalkan segala mecam cara untuk mencapai
tujuan, baik tujuan individu memperkaya diri sendiri maupun tujuan kelompok
untuk eksistensi keberlanjutan kelompok.Terapi ini semua adalah pemahaman,
implementasi dan investasi etika dan nilai-nilai moral bagi para pelaku bisnis
dan para elit politik. Dalam kaitan dengan etika bisnis, terutama bisnis
berbasis syariah, pemahaman para pelaku usaha terhadap ekonomi syariah selama
ini masih cenderung pada sisi “emosional” saja dan terkadang mengkesampingkan
konteks bisnis itu sendiri. Padahal segmen pasar dari ekonomi syariah cukup
luas, baik itu untuk usaha perbankan maupun asuransi syariah. Dicontohkan,
segmen pasar konvensional, meski tidak “mengenal” sistem syariah, namun
potensinya cukup tinggi. bisnis berbeda-beda selama ini, maka
implementasinyapun berbeda pula.
Keberadaan etika dan moral pada diri seseorang atau
sekelompok orang sangat tergantung pada kualitas sistem kemasyarakatan yang
melingkupinya. Walaupun seseorang atau sekelompok orang dapat mencoba
mengendalikan kualitas etika dan moral mereka, tetapi sebagai sebuah variabel
yang sangat rentan terhadap pengaruh kualitas sistem kemasyarakatan, kualitas
etika dan moral seseorang atau sekelompok orang sewaktu-waktu dapat berubah.
Baswir (2004) berpendapat bahwa pembicaraan mengenai etika dan moral bisnis
sesungguhnya tidak terlalu relevan bagi Indonesia. Jangankan masalah etika dan
moral, masalah tertib hukum pun masih belum banyak mendapat perhatian.
Sebaliknya, justru sangat lumrah di negeri ini untuk menyimpulkan bahwa
berbisnis sama artinya dengan menyiasati hukum. Akibatnya, para pebisnis di
Indonesia tidak dapat lagi membedakan antara batas wilayah etika dan moral
dengan wilayah hukum.
Wilayah etika dan moral adalah sebuah wilayah
pertanggungjawaban pribadi. Sedangkan wilayah hukum adalah wilayah benar dan
salah yang harus dipertanggungjawabkan di depan pengadilan. Akan tetapi memang
itulah kesalahan kedua dalam memahami masalah etika dan moral di Indonesia.
Pencampuradukan antara wilayah etika dan moral dengan wilayah hukum seringkali
menyebabkan kebanyakan orang Indonesia tidak bisa membedakan antara perbuatan
yang semata-mata tidak sejalan dengan kaidah-kaidah etik dan moral, dengan
perbuatan yang masuk kategori perbuatan melanggar hukum. Sebagai misal, sama
sekali tidak dapat dibenarkan bila masalah korupsi masih didekati dari sudut
etika dan moral. Karena masalah korupsi sudah jelas dasar hukumnya, maka
masalah itu haruslah didekati secara hukum.
Demikian halnya dengan masalah penggelapan
pajak, pencemaran lingkungan, dan pelanggaran hak asasi manusia.Berbisnis Dengan Etika Epistemologi Etika Bisnis Menurut Kamus
Inggris Indonesia Oleh Echols and Shadily (1992: 219), Moral = moral, akhlak,
susila (su=baik, sila=dasar, susila=dasar-dasar kebaikan); Moralitas =
kesusilaan; Sedangkan Etik (Ethics) = etika, tata susila. Sedangkan secara
etika (ethical) diartikan pantas, layak, beradab, susila. Jadi kata moral dan
etika penggunaannya sering dipertukarkan dan disinonimkan, yang sebenarnya memiliki
makna dan arti berbeda.
Moral dilandasi oleh etika, sehingga orang
yang memiliki moral pasti dilandasi oleh etika. Demikian pula perusahaan yang
memiliki etika bisnis pasti manajernya dan segenap karyawan memiliki moral yang
baik. Uno (2004) membedakan pengertian etika dengan etiket. Etiket (sopan
santun) berasal dari bahasa Prancis etiquette yang berarti tata cara pergaulan
yang baik antara sesama menusia. Sementara itu etika, berasal dari bahasa
Latin, berarti falsafah moral dan merupakan cara hidup yang benar dilihat dari
sudut budaya, susila, dan agama. Jika kata etika dikaitkan dengan kata bisnis
akan menjadi Etika Binis (business ethics). Steade et al (1984: 701) dalam
bukunya ”Business, Its Natura and Environment An Introduction” memberi batasan yakni,
”business ethics is ethical standards that concern both the ends and means of
business decision making”. Definisi etika bisnis menurut Business & Society
– Ethics and Stakeholder Management (Caroll & Buchholtz, ?: dalam Iman,
2006):
Bisnis sendiri terbagi dalam : Normative ethics: Concerned with supplying and
justifying a coherent moral system of thinking and judging. Normative ethics
seeks to uncover, develop, and justify basic moral principles that are intended
to guide behavior, actions, and decisions (DeGeorge, 2002). Descriptive ethics: Is concerned with describing, characterizing, and
studying the morality of a people, a culture, or a society. It also compares
and contrasts different moral codes, systems, practices, beliefs, and values (Bunchholtz
and Rosenthal, 1998).
Memang diakui oleh Steade et al. (1984: 584)
bahwa menunjuk sesuatu secara tepat yang merupakan perilaku bisnis secara etik
bukanlah suatu tugas gampang. Dalam hal ini, beberapa penduduk menyamakan
perilaku secara etik (ethical behavior) dengan perilaku legal (legal behavior)
– yaitu, jika suatu tindakan adalah legal (syah), mereka harus dapat diterima.
Kebanyakan penduduk, termasuk manajer, mengakui bahwa batas-batas legal pada
bisnis harus dipatuhi. Namun, mereka melihat batas-batas legal ini sebagai
suatu titik pemberangkatan untuk perilaku bisnis dan tindakan manajerial. Pada gilirannya formulasi hukum mengikuti
suatu tindak tanduk etika masyarakat dan hasilnya secara per lahan muncul dua,
yaitu adanya suatu hubungan ”give-and take” antara apa yang ”legal” dan apa yang ”cara etik”.
Etika adalah suatu cabang dari filosofi yang
berkaitan dengan ”kebaikan (rightness)” atau moralitas (kesusilaan) dari
kelakuan manusia. Kata etik juga berhubungan dengan objek kelakuan manusia di
wilayah-wilayah tertentu, seperti etika kedokteran, etika bisnis, etika
profesional (advokat, akuntan) dan lain-lain. Disni ditekankan pada etika
sebagai objek perilaku manusia dalam bidang bisnis. Dalam pengertian ini etika
diartikan sebagai aturan-aturan yang tidak dapat dilanggar dari perilaku yang
diterima masyarakat sebagai ”baik (good) atau buruk (bad)”. Catatan tanda kutip
pada kata-kata baik dan buruk, yang berarti menekankan bahwa penentuan baik dan
buruk adalah suatu masalah selalu berubah. Akhirnya, keputusan bahwa manajer
membuat tentang pertanyaan yang bekaitan dengan etika adalah keputusan secara
individual, yang menimbulkan konskuensi.
Keputusan ini merefleksikan banyak faktor,
termasuk moral dan nilai-nilai individu dan masyarakat. Secara sederhana etika bisnis dapat diartikan sebagai suatu aturan main
yang tidak mengikat karena bukan hukum. Tetapi harus diingat dalam praktek
bisnis sehari-hari etika bisnis dapat menjadi batasan bagi aktivitas bisnis
yang dijalankan. Etika bisnis sangat penting mengingat dunia usaha tidak lepas
dari elemen-elemen lainnya. Keberadaan usaha pada hakikatnya adalah untuk
memenuhi kebutuhan masyarakat. Bisnis tidak hanya mempunyai hubungan dengan
orang-orang maupun badan hukum sebagai pemasok, pembeli, penyalur, pemakai dan
lain-lain (Dalimunthe, 2004). Etika dan moral (moralitas) sering digunakan
secara bergantian dan dipertukarkan karena memiliki arti yang mirip. Ini
mungkin karena kata Greek ethos dari mana ”ethics” berasal dan kata latin mores
dari mana ”morals” diturunkan keduanya artinya kebiasaan (habit) atau custom
(adat). Namun moral (morals) berbeda dari etika (ethics), yang mana di dalam
moralitas terkandung suatu elemenelemen normatif yang tidak dapat
dielakkan/dihindari (inevitable normative elements). Dengan demikian, moral
berhubungan dengan pembicaraan tidak hanya apa yang dikerjakan, tapi juga apa
masyarakat seharusnya dikerjakan dan dipercaya.
Elemen-elemen normatif ini, atau ”keharusan
(oughtness)”, konflik dengan aspek-aspek perubahan etika bisnis. Nilai-nilai
(values) adalah standar kultural dari perilaku yang diputuskan sebagai petunjuk
bagi pelaku bisnis dalam mencapai dan mengejar tujuan. Dengan demikian, pelaku
bisnis menggunakan nilai-nilai dalam pembuatan keputusan secara etik apakah
mereka menyadarinya atau tidak. Semakin lama, manajer bisnis ditantang
meningkatkan sensitivitas mereka terhadap permasalahan etika. Mereka menekankan
pada evaluasi secara kritis prioritas nilai-nilai mereka untuk melihat
bagaimana ini pantas dengan realitas dan harapan organisasi dan masyarakat.
Etika Bisnis: Suatu Kerangka Global Masalah
etika dalam bisnis dapat diklasifikasikan ke dalam lima kategori yaitu: Suap
(Bribery), Paksaan (Coercion), Penipuan (Deception), Pencurian (Theft),
Diskriminasi tidak jelas (Unfair discrimination) (lihat
Nofielman, ?), yang masing - masing dapat dijelaskan sebagai berikut :
1. Suap (Bribery), adalah tindakan berupa menawarkan, memberi, menerima, atau
meminta sesuatu yang berharga dengan tujuan mempengaruhi tindakan seorang
pejabat dalam melaksanakan kewajiban publik. Suap dimaksudkan untuk
memanipulasi seseorang dengan membeli pengaruh. ‘Pembelian’ itu dapat dilakukan
baik dengan membayarkan sejumlah uang atau barang, maupun ‘pembayaran kembali’
setelah transaksi terlaksana. Suap kadangkala tidak mudah dikenali. Pemberian
cash atau penggunaan callgirls dapat dengan mudah dimasukkan sebagai cara suap,
tetapi pemberian hadiah (gift) tidak selalu dapat disebut sebagai suap,
tergantung dari maksud dan respons yang diharapkan oleh pemberi hadiah.2.
Paksaan (Coercion), adalah tekanan, batasan, dorongan dengan paksa atau dengan
menggunakan jabatan atau ancaman. Coercion dapat berupa ancaman untuk
mempersulit kenaikan jabatan, pemecatan, atau penolakan industri terhadap seorang individu.
3. Penipuan (Deception), adalah tindakan memperdaya, menyesatkan yang disengaja
dengan mengucapkan atau melakukan kebohongan.
4. Pencurian (Theft), adalah merupakan tindakan mengambil sesuatu yang bukan
hak kita atau mengambil property milik orang lain tanpa persetujuan pemiliknya.
Properti tersebut dapat berupa property fisik atau konseptual.
5. Diskriminasi tidak jelas (Unfair discrimination), adalah perlakuan tidak
adil atau penolakan terhadap orang-orang tertentu yang disebabkan oleh ras,
jenis kelamin, kewarganegaraan, atau agama. Suatu kegagalan untuk memperlakukan
semua orang dengan setara tanpa adanya perbedaan yang beralasan antara mereka
yang ‘disukai’ dan tidak.
Etika dalam Dunia Bisnis. Perubahan perdagangan dunia menuntut segera
dibenahinya etika bisnis agar tatanan ekonomi dunia semakin membaik. Langkah
apa yang harus ditempuh?. Didalam bisnis tidak jarang berlaku konsep tujuan
menghalalkan segala cara. Bahkan tindakan yang berbau kriminal pun ditempuh
demi pencapaian suatu tujuan. Kalau sudah demikian, pengusaha yang menjadi
pengerak motor perekonomian akan berubah menjadi binatang ekonomi. Terjadinya
perbuatan tercela dalam dunia bisnis tampaknya tidak menampakan kecenderungan
tetapi sebaliknya, makin hari semakin meningkat. Tindakan mark up, ingkar
janji, tidak mengindahkan kepentingan masyarakat, tidak memperhatikan sumber
daya alam maupun tindakan kolusi dan suap merupakan segelintir contoh
pengabaian para pengusaha terhadap etika bisnis. Sebagai bagian dari
masyarakat, tentu bisnis tunduk pada norma-norma yang ada pada masyarakat. Tata
hubungan bisnis dan masyarakat yang tidak bisa dipisahkan itu membawa serta
etika-etika tertentu dalam kegiatan bisnisnya, baik etika itu antara sesama
pelaku bisnis maupun etika bisnis terhadap masyarakat dalam hubungan langsung maupun tidak langsung.
Dengan memetakan pola hubungan dalam bisnis
seperti itu dapat dilihat bahwa prinsip-prinsip etika bisnis terwujud dalam
satu pola hubungan yang bersifat interaktif. Hubungan ini tidak hanya dalam
satu negara, tetapi meliputi berbagai negara yang terintegrasi dalam hubungan
perdagangan dunia yang nuansanya kini telah berubah. Perubahan nuansa perkembangan
dunia itu menuntut segera dibenahinya etika bisnis. Pasalnya, kondisi hukum
yang melingkupi dunia usaha terlalu jauh tertinggal dari pertumbuhan serta perkembangan dibidang ekonomi.
BAB III
PENUTUP
1. Etika adalah suatu cabang dari filosofi yang berkaitan dengan
”kebaikan (rightness)” atau moralitas (kesusilaan) dari perilaku manusia. Dalam
pengertian ini etika diartikan sebagai aturan-aturan yang tidak dapat dilanggar
dari perilaku yang diterima masyarakat sebagai ”baik (good” atau buruk (bad)”. Sedangkan
Penentuan baik dan buruk adalah suatu masalah selalu berubah.
2. Etika bisnis adalah standar-standar nilai yang menjadi pedoman atau acuan manajer dan segenap karyawan dalam pengambilan keputusan dan mengoperasikan bisnis yang etik.
3. Paradigma etika dan bisnis adalah dunia yang berbeda sudah saatnya dirubah menjadi paradigma etika terkait dengan bisnis atau mensinergikan antara etika dengan laba. Justru di era kompetisi yang ketat ini, reputasi perusahaan yang baik yang dilandasi oleh etika bisnis merupakan sebuah competitive advantage yang sulit ditiru. Oleh karena itu, perilaku etik penting diperlukan untuk mencapai sukses jangka panjang dalam sebuah bisnis
2. Etika bisnis adalah standar-standar nilai yang menjadi pedoman atau acuan manajer dan segenap karyawan dalam pengambilan keputusan dan mengoperasikan bisnis yang etik.
3. Paradigma etika dan bisnis adalah dunia yang berbeda sudah saatnya dirubah menjadi paradigma etika terkait dengan bisnis atau mensinergikan antara etika dengan laba. Justru di era kompetisi yang ketat ini, reputasi perusahaan yang baik yang dilandasi oleh etika bisnis merupakan sebuah competitive advantage yang sulit ditiru. Oleh karena itu, perilaku etik penting diperlukan untuk mencapai sukses jangka panjang dalam sebuah bisnis
0 komentar:
Posting Komentar